6 Kebudayaan Jawa yang Turun-temurun Diturunkan Sampai Kini
![]() |
sumber: wikipedia |
Sebagai sebuah negara besar
dengan 17.548 pulau, Indonesia diketahui dengan kekayaan tradisinya. Hal ini
tak lepas dari banyaknya suku yang berdomisili di Indonesia, yang jumlahnya
lebih dari 250 suku. Kecuali itu, fakta Indonesia sebagai negara kepulauan juga
ikut serta memberikan akibat kenapa kebudayaan antar tempat dapat beraneka.
Salah satu suku yang terbesar di
Indonesia ialah Suku Jawa. Diperhatikan dari demografinya, suku ini mendiami
kawasan tengah dan timur Pulau Jawa. Sebagai sebuah suku yang besar, tentu saja
Suku Jawa juga mempunyai kebudayaan yang besar, dipakai turun-temurun, dan
masih ditemukan sampai kini. Kaprah-kaprah kebudayaan apa saja itu? Berikut
kami ulas 6 kebudayaan Jawa yang turuntemurun diturunkan sampai kini.
1. Bahasa
Suku Jawa mempunyai bahasa tempat
yang disebut dengan Bahasa Jawa. Beberapa besar masyarakat Jawa pada lazimnya
lebih banyak memakai Bahasa Jawa ini ketimbang memakai bahasa nasional, Bahasa
Indonesia, untuk berdialog. Bahasa Jawa mempunyai undang-undang yang berbeda
dalam hal intonasi dan kosakata dengan mengamati siapa yang berdialog dan siapa
lawan bicaranya. Hal ini awam disebut dengan istilah upload-ungguh.
Regulasi ini mempunyai akibat
sosial yang kuat dalam kultur Jawa dan secara tak lantas kapabel menyusun
kesadaran yang kuat akan status sosialnya di tengah masyarakat. Sebagai
teladan, di manapun seseorang dari Suku Jawa berada, ia akan konsisten hormat terhadap
yang lebih tua sedangkan ia tak mengenalnya. Upload-ungguh semacam inilah yang
pertama kali disusun Suku Jawa melewati keteladanan bahasa.
2. Kepercayaan
Dahulunya, masyarakat Suku Jawa
beberapa besar memeluk agama Hindu, Budha, dan Kejawen sebagai pegangan.
Berbeda dengan yang kini, beberapa besar masyarakat Jawa memeluk agama Islam
dan beberapa kecil menganut agama Kristen dan Khatolik. Sedangkan demikian,
kultur masa lalu masyarakat Jawa tak utuh ditinggalkan semacam itu saja sebab
kepercayaan Kejawen, yang yaitu kepercayaan yang dibuat dari kultur Jawa,
konsisten masih ada yang melakukan.
Kepercayaan kejawen berisikan
perihal seni, kultur, kultur, ritual, sikap dan juga filosofi orang-orang Jawa.
Umumnya kepercayaan ini semacam itu kuat dikontrol oleh orang-orang yang telah
berusia tua dan lazimnya generasi di bawahnya telah tak banyak lagi yang
mencontohnya. Meskipun berbeda pandangan, hal ini rupanya tak memunculkan
friksi antara yang tua ataupun yang muda, pun kaum yang muda cenderung menghormati
yang tua untuk dilema ini.
3. Filosofi
Orang Jawa juga diketahui lekat
dengan filosofi kehidupan, terutamanya dengan apa yang diajari oleh Sunan
Kalijogo. Dalam kegiatannya berdakwah, seringkali Sunan Kalijogo memakai
pendekatan kultur sehingga banyak orang Jawa yang mencontoh ajarannya. Misalkan
saja, nyanyian Ilir-ilir dan Botak-plontos Cangkul yaitu karya beliau yang
hingga dikala ini masih didengarkan turun-temurun.
Sunan Kalijogo juga meninggalkan
filosofi hidup yang termuat dalam Dasa Pitutur yang masih dikerjakan hingga
kini. Isinya di antaranya ialah urip iku urup, memayu hayuning bawana ambrasta
dur hangkara, sura dira jaya jayaningrat lebur dening pangastuti, ngluruk tanpa
bala menang tanpa ngasorake sekti tanpa aji-aji sugih tanpa bandha, dan sebagainya.
4. Kesenian
Dalam bidang seni kultur,
masyarakat Suku Jawa dapat dibilang mempunyai kekayaan seni yang beraneka.
Setidaknya seni tradisional ini dibagi menjadi 3 golongan berdasarkan akar
tradisinya, yaitu Banyumasan (Ebeg), Jawa Tengah dan Jawa Timur (Ludruk dan
Reog). Untuk seni musik, masyarakat Jawa mempunyai Langgam Jawa yang yaitu
penyesuaian diri musik keoncong ke dalam musik tradisional Jawa, terpenting
Gamelan.
Kecuali itu, Suku Jawa mempunyai
tipe seni tari dari beraneka tempat, yaitu Tari Bambangan Cakil dari Jawa
Tengah, Tari Angguk dari Yogyakarta, Tari Ebeg dari Banyumas, Tari Gandrung
dari Banyuwangi, Tari Kridhajati dari Jepara, Tari Kuda Lumping dari Jawa
Tengah, Tari Reog dari Ponorogo, Tari Remo dari Jawa Timur, Tari Emprak dari
Jawa Tengah, Tari Golek Menak dari Yogyakarta, dan Tari Sintren dari Jawa
Tengah.
5. Kalender
Salah satu kekayaan kultur Jawa
yang tak dimiliki oleh suku lain ialah Kalender Jawa. Kalender ini yaitu
penanggalan yang dipakai oleh Kesultanan Mataram. Saat Islam mulai berkembang
di tanah Jawa, Sultan Agung menetapkan untuk meninggalkan Kalender Saka dan
menggantinya dengan Kalender Hijriah dengan penyesuaian kultur Jawa. Kalender
Jawa diciptakan dengan perpaduan antara kultur Islam, kultur Hindu-Budha, dan kultur
Eropa.
Dalam kalender metode Jawa,
siklus harian yang diaplikasikan ada dua variasi, yaitu siklus mingguan yang
terdiri dari 7 hari seperti yang kita ketahui kini (Senin, Selasa, Rabu, Kamis,
Jum’at, Sabtu, dan Pekan) serta siklus pekan pancawara yang terdiri dari 5 hari
pasaran (Manis, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon). Untuk hitungan bulan, Kalender
Jawa juga mempunyai 12 bulan, yaitu Sura, Supar, Mulud, Bakda Mulud,
Jumadilawal, Jumadilakir, Rajab, Ruwah, Pasa, Sawal, Jeda, dan Besar.
6. Hitungan Jawa
Masyarakat tradisional Jawa juga
mempunyai metode perhitungan untuk membikin keputusan-keputusan penting. Metode
perhitungan ini awam disebut dengan Neptu, mencakup angka perhitungan hari,
hari pasaran, bulan, dan tahun Jawa. Tiap hari, hari pasar, bulan, dan tahun
mempunyai poin yang berbeda-beda. Dari poin perhitungan sempurna itulah
nantinya akan dikenal bagus-buruknya keputusan yang akan diambil.
Perhitungan ini juga dapat
didasarkan pada susunan Aksara Jawa (ha na ca ra ka, da ta sa wa la, pa dha ja
ya nya, ma ga ba tha nga). Tiap aksara mempunyai poin yang berbeda-beda,
misalkan ha, da, pa, ma masing-masing nilainya 1 dan huruf na, ta, dha, ga
masing-masing nilainya 2, semacam itu juga seterusnya. Dari sempurna
perhitungan tersbut nantinya akan dicocokkan dengan 5 faktor, yaitu Sri,
Lungguh, Gedhong, Loro dan Pari. Faktor Sri, Lungguh dan Gedhong yaitu faktor
positif, padahal Loro dan Pati ialah faktor negatif yang umumnya akan dihindari
oleh orang Jawa.
Nah, itulah 6 kebudayaan Suku
Jawa yang masih diturunkan secara turun-temurun sampai dapat kita temui hingga
kini. Meskipun masih ada, bukan tak mungkin dengan derasnya era modernisasi
kebudayaan Jawa ini dapat tergerus. Oleh sebab itu, peran generasi mudanya lah
yang akan mempertimbangkan bagaimana kelestarian kebudayaan ini nantinya.
Komentar
Posting Komentar